Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Penerapan otonomi daerah
ditujukan untuk mendekatkan proses pengambilan keputusan kepada kelompok
masyarakat yang paling bawah, dengan memperhatikan ciri khas budaya dan
lingkungan setempat, sehingga kebijakan publik dapat lebih diterima dan
produktif dalam memenuhi kebutuhan serta rasa keadilan masyarakat akar rumput,
itulah idealnya aktualisasi dari otonomi daerah. Sebagaimana UU No.22/1999 tentang Daerah, yang lebih popular disebut
UU Otonomi Daerah/Otda pada tahun 2001, dan telah diperbaharui dengan UU No.32/2004. UU ini merupakan tonggak baru dalam sistem
pemerintahan Indonesia.
Undang-undang No. 22
Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah (UUPD) menjadi salah satu landasan yang
mengatur tentang pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintahan dari tingkat provinsi
hingga kota/kabupaten diharapkan dapat melaksanakan kebijakan sesuai dengan
kebutuhan rakyatnya. Kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur kegiatan
ekonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam terus dilakukan perbaikan.
Hingga sekarang kebijakan otonomi daerah memiliki pengaruh yang baik dalam
perkembangan daerah di Indonesia. Daerah-daerah di Indonesia terus berkembang
dan memiliki kemandirian dalam pengembangan potensi daerah.
UU Ototnomi Daerah ini
terlahir dari pandangan bahwa negara Indonesia (NKRI) yang mempunyai wilayah
(kepulauan) sangat luas, lautan lebih luas dari daratan. Mustahil dikelola
dengan baik melalui system pemerintahan yang sentralistik. Karena itu,
diperlukan desentralisasi kekuasaan.
Dengan desentralisasi,
diharapkan jarak antara rakyat dengan pembuat kebijakan menjadi lebih dekat,
baik secara politik maupun geografis, sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan
yang dihasilkan akan sesuai dengan hajat hidup rakyat. Artinya, pemerintah
daerah yang pastinya lebih mengetahui kelemahan dan keunggulan daerahnya, baik
dari sisi SDM dan SDA, dan pemerintah pusat diharapkan dapat membuat
kebijakan-kebijakan yang lebih efektif guna memakmurkan masyarakat.
UU Otonomi Daerah ini,
Pemerintah Pusat memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengelola
Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan daerahnya secara lebih efektif, efisien
dan partisipatif.
Pemerintah daerah harus
berperan dengan aktif agar sasaran dari otonomi daerah dapat tercapai dengan
baik. Ayat 3 Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa ”bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Negara memberikan kewenangan
kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya alam dan mempergunakan
untuk kemakmuran rakyat. Sumber daya alam yang baik tanpa di dukung oleh
pengelolaan yang baik tentunya akan tidak maksimal. Kewenangan dalam otonomi daerah
harus dipertajam agar tepat “di jantung” sasaran yang dituju. Kita berharap
otonomi daerah tidak disalahgunakan dalam kewenangannya. Otonomi tanpa ada alur
yang mengatur tentunya akan oleng ditengah jalan. Disinilah dibutuhkan
kerjasama dari berbagai pihak agar hal ini dapat dilaksanakan dengan baik.
Diantaranya masyarakat dan pemerintah daerah itu sendiri. Pemerintah daerah
harus bersikap tranparan kepada masyarakat, begitu pula sebaliknya agar
kebutuhan dari daerah tersebut dapat terwujudkan. Kebijakan pemerintah di
tingkat provinsi harus mendukung sepenuhnya dalam pengelolaan sumber daya alam
agar dimanfaatan untuk masyarakat sesuai dengan kebutuhan.
Pemerintah provinsi
harus memahami hal ini. Pemerintah daerah harus berbenah agar pemanfaatan
sumber daya alam dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan
masyarakat. Dengan pengelolaan sumber daya alam yang baik tentunya
ini akan menciptakan lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan yang memadai
tentunya akan mengurangi pengangguran, berkurangnya pengangguran tentunya akan
mengurangi permasalahan sosial. Jika masyarakatnya sudah produktif maka
percepatan pembangunan menuju kemandirian akan lebih mudah untuk dilakukan.
Pemerintah daerah harus membimbing masyarakat dan memberikan program pelatihan
dalam pengembangan sumber daya manusia.
Pendistribusian Hasil dari SDA dengan Kaitan UU no. 25
Tahun 1999
Dana Perimbangan adalah
dana yang bersumber dari penerimaana APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk
membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Besarnya
jumlah dana perimbangan ini ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.
Hal ini sejalan dengan
tujuan pokok dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu memberdayakan
dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah ; menciptakan sistem pembiayaan
daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung
jawab, dan berupaya mewuijudkan sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah yang mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung
jawab yang jelas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, mendukung
pelaksanaan otonomi daerah, mengurangi kesenjangan antara daerah dalam
kemampuannya untuk membiayai tanggungjawab otonominya, dan memberikan kepastian
sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan.
Menyangkut soal dana
perimbangan, ditetapkan atas dasar perhitungan prosentase tertentu dari seluruh
realisasi penerimaan dalam negeri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 80, dana
perimbangan terdiri dari :
·
Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea perolehan
hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam
·
Dana Alokasi Umum
·
Dana Alokasi Khusus